Menyoal Bahasa “Gaul”

Dewasa ini penggunaan bahasa Indonesia (BI) kian digeser oleh bahasa gaul, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia media. Interferensi bahasa gaul (bahasa slank) bahkan muncul dalam penggunaan Bahasa Indonesia pada situasi resmi atau formal, seperti halnya dunia pendidikan.

Secara harfial istilah gaul berarti “hidup berteman” (KBBI Edisi Ketiga. Balai Bahasa. 2005) Istilah ini mulai muncul pada akhir tahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasanya anak tongkrongan yang biasanya kental dengan bahasa etnis Betawi. Lambat laun bahasa gaul dianggap lebih bergengsi karena merupakan campuran antara bahasa masyarakat Ibu kota (etnis Betawi) dengan bahasa asing, sehingga masyarakat khusunya remaja secara psikologis ingin dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi dengan menggunakan bahasa gaul.

Ditambah dengan peran media (elektronik) lebih senang menggunakan istilah bahasa gaul dalam film-film khusunya film remaja. Artinya bahasa gaul tidak hanya terjadi karena kontak langsung antara masyarakat itu sendiri, tapi sebagian besar karena “disuapi” oleh media. Padahal media massa memiliki peran besar dalam perkembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah yang telah ada.

Ironis memang, jika dulu media (media cetak) begitu bangga dengan bahasa Indonesia. Media turut serta menyebarkan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, bahasa kebanggaan, tetapi sekarang peran media dipertanyakan? Akan tetapi kita masih bersyukur karena tidak semua media berperan dalam meruntuhkan penggunaan bahasa Indonesia. Beberapa media masih tetap memegang teguh idealismenya. Umunya media-media cetak yang memiliki idealisme tinggi terhadap bahasa Indonesia.

Fenomena inilah yang menjadikan bahasa Gaul kian menguat, mengotori bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga terjadi pengenyampingan atau menganggap remeh bahasa Indonesia yang baik dan benar, karena anggapan yang lebih dominan, bahwa bahasa gaul memiliki gengsi yang lebih tinggi.

Disamping itu, dunia pendidikan tentu sangat memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia, namun sayangnya tidak jarang siswa bahkan pengajar sendiri memandang remeh bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia seolah dinomorduakan. Pelajaran bahasa Indonesia hanya dianggap sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah. Artinya tidak didasari kecintaan terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Siswa tidak dididik untuk sadar akan pentingnya bahasa Indonesia.

Hal tersebut diperparah dengan cara pengajaran pendidik. Pengajar kurang bisa mendorong siswa untuk secara langsung mengaplikasikan teori-teori bahasa secara langsung. Misalnya dengan menulis. Dengan menulis siswa dapat belajar mengenai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan memilih kata-kata yang sesuai dengan pembakuan bahasa. Bukankah cerminan seseorang dapat dilihat dari segi bahasanya. Bahkan lebih jauh lagi, bangsa yang berbudaya luhur adalah bangsa yang menjungjung tinggi bahasanya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan akan dibawa kemana bahasa Indonesia tercinta ini? Apakah kita akan terus terlarut dalam intervensi bahasa asing dan bahasa gaul yang kian meruntuhkan integritas bahasa Indonesia itu sendiri? Jawabannya ada pada kita sebagai bangsa yang mencintai bangsanya dan bahasanya.

Disatu sisi memang bahasa itu adalah hak dari penuturnya. Terserah penutur ingin menggunakan bahasa apa. Akan tetapi bahasa itu seperti layaknya manusia, bahasa bisa hidup dan bisa juga mati. Apakah kita akan membiarkan bahasa Indonesia itu mati. Mungkin memang kekhawatiran itu masih jauh. penulis yakin bahasa Indonesia akan terus hidup dengan catatan kita terus menyaring intervensi dari bahasa asing dan bahasa gaul.

Sebagaimana dengan hakikat bahasa itu sendiri, bahwa bahasa itu dinamis. Bahasa itu terus berkembang, baik secara kontak sosial secara langsung maupun tidak langsung. Bahasa Indonesia pun demikian. Keterbukaan perlu untuk membuat agar bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mumpuni, artinya bahasa Indonesia tidak hanya dijadikan sebagai bahasa alat komunikasi semata, tetapi juga sebagai bahasa pendidikan. Disitulah mengapa beberapa istilah asing oleh Badan Penelitian Pengembangan dan Pembinaan Bahasa diIndonesiakan.

Sesungguhnya adanya istilah bahasa asing kedalam bahasa Indonesia tidak semuanya berdampak buruk terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. Hal itu juga bisa memperkaya bahasa Indonesia itu sendiri. Akan tetapi tetap perlu adanya kontrol agar penggunaan istilah asing tersebut proporsional.

Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa gaul, perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap integritas bahasa Indonesia itu sendiri. bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, juga menjadi sesuatu kebanggaan kita di kalangan masyarakat dunia.

Dengan keperdulian pihak-pihak yang berpengaruh mempengaruhi eksistensi bahasa Indonesia yang baik dan benar tersebut, bahasa Indonesia dapat selalu memegang komitmennya, sesuai dengan tatanan bahasa dan KBBI yang sudah ada. (artikel ini pernah di muat di kompas.com, 20 Maret 2010)

Penulis: Ferdinaen Saragih

Related Posts:

0 Response to "Menyoal Bahasa “Gaul”"

Post a Comment